DEWI ANGGRAENI: “RESTU ORANG TUA MEMUDAHKAN JALAN KE MAGHRIBI”

Posted by Tuan Muda

Sumber: MOTIVASIBEASISWA.ORG
 
Malam semakin larut. Aku masih terdiam sendiri menikmati indahnya bintang-bintang. Aku merasa hampa  di malam ini tanpa sinar rembulan, ah seandainya aku punya sayap, kuingin terbang mengitari bintang-bintang seraya  berkata, dunia sesunggunya kecil dan kekuasaanMu lah yang sangat besar. Setidaknya kata-kata itu membuatku damai ketika aku tak tahu kemana jalan yang harus aku tempuh untuk menapaki masa depan.

6659329099_f71a5971a6Ujian akhir telah berlalu, semua teman-temanku telah mendaftrakan diri di universitas bonafid. Meski nilai-nilaiku tak kalah dengan mereka namun aku tak seberuntung mereka. Ayahku mencari  nafkah dari mengayuh becak, sementara ibuku membantunya menghidupi keluarga dengan  berjualan nasi kuning di pagi hari.  Belum lagi adik-adikku masih mengenyam pendidikan wajib, ah haruskah aku menambah beban finansial  mereka untuk masuk perguruan tinggi. Aku termenung sambil memegang ijazahku entah mau dibawa kemana kertas ini, 3 tahun aku duduk di bangku Aliyah hanya untuk memperoleh selembar kertas ini. Meski tak bermakna namun sangat bernilai. Tiba-tiba Bapaku menyapaku dari belakang.

“Nak mau dilanjutkan kemana sekolah mu?” tanya bapak perlahan.

“Pak, Nisa tidak mau merepotkan bapak, adik-adik Nisa masih harus sekolah, biaya kuliah mahal pak, kalo Nisa kuliah, Nisa pengen kuliah di Timur Tengah pak” jawabku.

“Kenapa nak?” tanya bapak.

“Kalo di Timur Tengah kuliah gratis, tidak seperti di sini, 2 hari lagi tes beasiswa ke Maroko di Jakarta, Nisa minat kuliah di sana”.

“ Nak, yakinlah apa yang kau tanam suatu saat akan kau petik, raihlah semua impianmu dan jangan pulang dengan tangan kosong. Lihatlah betapa luasnya langit, betapa luasnya samudera, terbanglah bersama sejuta angan, berlayarlah dengan perahu-perahu tangguh yang dapat menghantam badai  memalingkan ombak, kau bisa jika kau berkata kau pasti bisa, materi bukanlah penghalang meraih impianmu nak, pergilah doa bapak menyertaimu. Esok bapak akan pergi menjual becak nanti uangnya buat kamu pergi ke Jakarta ikut tes beasiswa ke Maroko.”

“Tapi pak, becak itu sebagai sumber penghasilan keluarga kita, bagaimana jika becak dijual, Nisa berat ngizinin bapak jual becak pak.”

“Sebagian uangnya bapak pakai buat modal buka warung kecil-kecilan  di depan rumah. Nak, suatu saat nanti ekonomi kita akan berubah, rizki itu sudah ada yang mengatur. Tidak usah kamu pusing perihal itu. Bapak masih bisa kerja tanpa harus jadi tukang becak, yang penting kamu yakin suatu saat kamu akan jadi orang sukses. Semangat dan bekerja keras meraih impianmu ya nak”.

Bapak beranjak pergi meninggalkan ku sendiri. Malam itu air mata tak henti membasahi pipiku, ku pandangi becak di halaman rumah, akankah ini hari teakhir ku melepaskan becak yang selama bertahun-tahun menemani Bapak sebagai ladang mencari nafkah.

“Tuhan, dalam hidupku, aku tak ingin mengecewakan mereka, tangis ini suatu saat akan kubalas dengan senyuman kebahagiaan…”

Pagi-pagi buta Bapak telah pergi mengayuh becak. Dalam hati aku bergumam,,entah kemana akan Bapak membawa becak itu. Hatiku teriris ketika mengingat perkataan Bapak semalam. Aku berjalan mendekati ibu di halaman rumah yang sedang membungkus nasi kuning, ibu tersenyum menatapku seraya berkata: ”Pergilah nak, doa ibu menyertaimu”. Aku tak kuasa membendung air mata ini. Aku peluk ibu erat-erat, segera aku merasakan damai dalam pelukannya.

Seharian aku tunggu kedatangan Bapak sambil membaca buku persiapan untuk menghadapi tes. Entah apakah aku akan lolos, semua masih menjadi pertanyaan dalam benakku. Seketika itu  perkataan Bapak terngiang di telingakuYakinlah apa yang kau tanam akan kau petik”.

Jingga merah menyelimuti langit. Adzan magrib berkumandang. Aku lihat dari jauh bapak berjalan sambil menjinjing plastik hitam. Langkahnya mulai mendekatiku, ia tersenyum seraya berkata: “Alhamdulillah, rizki mu nak”.

Lalu bapak bergegas masuk ke dalam rumah. Selepas sholat maghrib bapak memanggilku.

“Nisa, ini uang buat pergi ke Jakarta, dulu waktu bapak di pondok bapak punya teman orang Jakarta, namanya Pak Rahmat. Ini nak alamatnya, kalo kamu harus nginep datanglah ke rumahnya, dia sahabat baik bapak, sampaikan juga salam bapak ya nak. Besok bus ke Jakarta pukul 7 pagi. Sekarang kamu siap-siap. lalu istirahat, besok mau perjalanan jauh”.

Merangkuh mimpi melewati tes

Dengan bekal uang 500 ribu, aku pergi ke Jakarta. Meski aku takut pergi sendirian ke ibu kota, namun tekadku mengalahkan rasa takutku. Ah, akhirnya aku sampai di ibu kota. Sambil tersenyum geli aku melihat Monas.  Sudah 18 tahun baru kali ini aku pergi ke Jakarta. Nasib baikku bertemu Ustadz Irfan yang dulu mengajarku di pondok. Dia yang mengantarkanku pergi ke Kemenag untuk mengikuti tes.

Aku masih tidak tahu aku peserta nomor berapa. Lebih dari 100 orang berdiri di ruang tunggu. Nampak wajah-wajah tegang, sebagian mereka ada yang memegang mushaf, ada yang membaca kitab kuning. Sementara aku terdiam. Entah model tes seperti apa yang akan dilemparkan kepadaku.. Sungguh aku benar-benar sendiri dan tak mengerti apa yang harus kulakukan selain masuk ruangan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan kepada ku. Tiba-tiba Ustadz Irfan mengasihkan nomor peserta kepada ku seraya berkata:

”Nisa, nanti jam 15.00 kamu masuk ruangan tes, untuk tes tulis. Pertanyaannya menggunakan bahasa arab. Nanti di sana kamu harus mengerjakan soal. Disusul dengan mengarang menggunakan bahasa arab. Besok tes lisan, mungkin tes muhadatsah. Jangan khawatir, ustadz yakin kamu pasti bisa. Sekarang kamu ikut ustadz dulu, yuk”.  Tanpa berfikir panjang aku mengikuti langkah beliau. Aku diajak shalat dhuhur di masjid Istiqlal, kemudian makan siang di sekitar masjid. Hatiku bergumam “Sesungguhnya engkau sebaik-baiknya penolong, terima kasih ya Allah”.

Setengah jam sebelum tes di mulai, aku telah   menunggu di depan ruangan tes. Sesekali  penjaga pintu tersenyum padaku, entah apakah dia menertawakan cara berpakaianku yang terkesan kampungan, atau ada hal lain. Aku tidak peduli dengan itu semua. Yang ada dalam fikiranku saat ini adalah memberikan yang terbaik buat diri dan keluarga.

Ruangan ini begitu menegangkan. Setidaknya masa depanku ditentukan di hari ini. Sebelum aku jawab soal-soal, aku ingat kembali perkataan bapak di malam itu Hatiku berdetak kencang. Aku harus membayar keringat itu dengan kesungguhan. Di sini, di bangku ini aku harus memberikan yang terbaik yang aku bisa. Dalam waktu 30 menit aku selesai menjawab soal-soal itu dan merangkai kata dengan bahasa arab. Ternyata tesnya tidak sesulit apa yang aku bayangkan. Meski demikain aku serahkan semuanya pada yang Maha Kuasa. Aku telah berusaha melakukan yang terbaik semampuku. Ustadz Irfan menungguku di depan ruang tes, beliau mendekatiku sambil tersenyum.

“Wah sudah senyum-senyum nih, gimana Nisa, mudahkan? ustadz yakin Insya allah kamu lulus Nis. Sekarang kamu mau kemana Nis? Besok tes lisan mulai jam 8 pagi.”

“Bapak menyuruh Nisa menginap di rumah yang ada di alamat ini.” aku memberikan alama tersebut kepadanya. “Beliau teman bapak ketika di pondok dulu”.

“Baiklah, ustad antarkan kamu ke alamat ini”.

Setelah satu jam memutari komplek mencari alamat itu akhirnya ketemu juga. Kami berdiri di depan rumah tersebut. Ustadz Irfan langsung mengendarai mobil setelah mengantarkanku ke tempat tujuan. Sejenak aku terkejut ketika ku ketuk pintu ternyata yang membuka pintu adalah bapak penjaga di ruang tes tadi. Dia tersenyum dan menyapaku “ cari siapa nak?”. Tanyanya lembut.

“Saya Nisa Quratul Ain, saya anaknya Pak Burhanudin”. Jawab ku.

“Wah, ini anaknya Burhanudin toh, ia, monggo nak monggo. Dari tadi aku melihat kamu di sana mirip Burhan, ternyata anaknya toh”.

Dalam hati kecil aku bergumam, maafkan aku pak, aku kira tadi bapak senyum-senyum melihatku karena penampilanku yang terkesan kampungan. Semalaman Pak Rahman bercerita tentang bapak dulu. Akupun tidak merasa sebagai orang asing dirumahnya. Hidup memang bukan untuk dikeluhkan, melainkan untuk disyukuri. Apa yang akan terjadi besok kita tak akan pernah tau. Kesederhanaan hidup beliau mengajarkan aku untuk bersyukur. Ah Tuhan betapa rencanaMu begitu indah.

Hari kedua: Tes lisan

Pukul 7 pagi Ustadz Irfan menjemputku. Setelah berpamitan dengan Pak Rahman aku pergi meninggalkan rumah beliau. Pagi ini aku menemukan makna baru dalam memahami kehidupan. Dengan penuh optimis ku yakin mimpiku sebentar lagi akan ku raih. Ternyata aku masuk di urutan pertama mengikuti tes lisan. Orang yang mengujiku begitu ramah. Aku jawab semua pertanyaan yang beliau ajukan kepadaku. Setelah selesai aku bergegas keluar. Tiba tiba si penguji tadi memanggilku: “Nisa Quratul Ain, insyallah minggu depan kamu kesini lagi ya”.

Aku hanya tesenyum sambil mengangguk, entah apa maksud perkataan beliau. Aku tidak tahu apakah aku disuruh melalui tes lagi. Yang aku tau saat ini, perasaanku sedikit lega karna telah melewati tes beasiswa ke Maroko. Apapun hasilnya aku harus yakini itu yang terbaik setelah usaha yang aku lakukan semaksimal mungkin.

Aku pergi meninggalkan kantor Kamenag. Berjalan sembari merasakan ramainya kota metropolitan, gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh, derungan kendaraan bermotor serta polusi-polusi menemani langkahku menyusuri ibu kota. Tak pernah terbesit dalam hatiku untuk menjadi orang asli ibu kota.

Berita Yang Mengejutkan

Selepas sholat magrib, handphone ku berdering..
“Assalamu’alaikum Nisa..selamat ya kamu lulus peringkat pertama tes ke Maroko, besok kamu ke Jakarta ya, urusi segera berkas berikut visa keberangkatan, kalo bisa secepat mungkin ya Nis, ambil ijazah dan berkas-berkas yang diperlukan. Besok Ustadz jemput kamu di stasiun Insayallah”.

Selepas Ust Irfan menelepon, aku kabari bapak dan ibu. Aku tidak pernah membayangkan senyum kebahagiaan mereka. Ya allah, Alhamdulillah akhirnya aku bisa membahagiaakan mereka. Akan kuganti becak yang bapak jual dengan peluh kesungguhan. Aku langsung menyiapkan berkas-berkas yang akan aku bawa besok ke Jakarta. Uang untuk mengurusinya masih tersisa dari bekal yang bapak beri kepadaku dulu.

Sesampainya di stasiun Ust Irfan menjemputku dengan penuh senyum, seraya berkata: “selamat ya Nis, perjuangan mu baru akan di mulai”.

Aku menyerahkan berkas-berkas ke Direktorat Pendidikan Timur Tengah. Urusan visa dipegang oleh Ust Irfan. Setelah tiga hari, akhirnya semua urusan selesai di Jakarta. Tiket semua sudah ditanggung dari Kamenag, semantara biaya hidupku di maroko akan berasal dari beasiswa. Alhamdulillah akhirnya ku bisa kuliah tanpa membebani kedua orang tuaku.

Hari terakhirku

Pagi sekali Ustadz Irfan menjemputku untuk pergi ke Jakarta. Pesawat ke Maroko akan terbang pada jam 5 sore. Hari ini aku harus rela berpisah dengan kedua orang tua serta adik-adikku. Kesedihan menyelimutiku, aku harus meninggalkan orang-orang yang ku sayangi demi meraih impian. Tangisku pecah dihadapan ibu. Sementara bapak tersenyum-senyum kecil. Aku ciumi tangan mereka seraya berpamitan. Bapak maju mendekatiku kemudian berkata:

“Raih mimpimu, nak ,kami di sini akan baik-baik saja, doa kami menyertaimu, di Maroko hanya sekejap mata, jangan kau sia-siakan apa yang kau perjuangkan, bayar semuanya dengan peluh kesungguhan. Kau pasti bisa, nak”.

Bismilah aku langkahkan kaki ini meninggalkan orang-orang yang kusayangi. Aku titipkan mereka padamu ya allah. Ketika senja mulai menampakkan diri aku ucapakan salam perpisahan pada keluarga dan bumi pertiwi. Dalam langkahku aku mengemban amanah, yang kelak akan aku pertanggung jawabkan. Nantikan hadirku hingga aku kembali dengan senyum penuh kebahagiaan.

Tiba-tiba handpone ku berdering dan  tertulis sms “ Nisa Quratul Ain..aku menunggumu disini. Irfan”.

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment

TInggalkan Komentar dibawah : Sebisa mungkin akan direspon.