Sumber: MOTIVASIBEASISWA.ORG
Malam semakin larut. Aku masih terdiam sendiri menikmati indahnya
bintang-bintang. Aku merasa hampa di malam ini tanpa sinar rembulan, ah
seandainya aku punya sayap, kuingin terbang mengitari bintang-bintang
seraya berkata, dunia sesunggunya kecil dan kekuasaanMu lah yang sangat
besar. Setidaknya kata-kata itu membuatku damai ketika aku tak tahu
kemana jalan yang harus aku tempuh untuk menapaki masa depan.
Ujian
akhir telah berlalu, semua teman-temanku telah mendaftrakan diri di
universitas bonafid. Meski nilai-nilaiku tak kalah dengan mereka namun
aku tak seberuntung mereka. Ayahku mencari nafkah dari mengayuh
becak, sementara ibuku membantunya menghidupi keluarga dengan berjualan
nasi kuning di pagi hari. Belum lagi adik-adikku masih mengenyam
pendidikan wajib, ah haruskah aku menambah beban finansial mereka untuk
masuk perguruan tinggi. Aku termenung sambil memegang ijazahku entah
mau dibawa kemana kertas ini, 3 tahun aku duduk di bangku Aliyah hanya
untuk memperoleh selembar kertas ini. Meski tak bermakna namun sangat
bernilai. Tiba-tiba Bapaku menyapaku dari belakang.
“Nak mau dilanjutkan kemana sekolah mu?” tanya bapak perlahan.
“Pak,
Nisa tidak mau merepotkan bapak, adik-adik Nisa masih harus sekolah,
biaya kuliah mahal pak, kalo Nisa kuliah, Nisa pengen kuliah di Timur
Tengah pak” jawabku.
“Kenapa nak?” tanya bapak.
“Kalo di
Timur Tengah kuliah gratis, tidak seperti di sini, 2 hari lagi tes
beasiswa ke Maroko di Jakarta, Nisa minat kuliah di sana”.
“ Nak,
yakinlah apa yang kau tanam suatu saat akan kau petik, raihlah semua
impianmu dan jangan pulang dengan tangan kosong. Lihatlah betapa luasnya
langit, betapa luasnya samudera, terbanglah bersama sejuta angan,
berlayarlah dengan perahu-perahu tangguh yang dapat menghantam badai
memalingkan ombak, kau bisa jika kau berkata kau pasti bisa, materi
bukanlah penghalang meraih impianmu nak, pergilah doa bapak
menyertaimu. Esok bapak akan pergi menjual becak nanti uangnya buat kamu pergi ke Jakarta ikut tes beasiswa ke Maroko.”
“Tapi
pak, becak itu sebagai sumber penghasilan keluarga kita, bagaimana jika
becak dijual, Nisa berat ngizinin bapak jual becak pak.”
“Sebagian
uangnya bapak pakai buat modal buka warung kecil-kecilan di depan
rumah. Nak, suatu saat nanti ekonomi kita akan berubah, rizki itu sudah
ada yang mengatur. Tidak usah kamu pusing perihal itu. Bapak masih bisa
kerja tanpa harus jadi tukang becak, yang penting kamu yakin suatu saat
kamu akan jadi orang sukses. Semangat dan bekerja keras meraih impianmu
ya nak”.
Bapak beranjak pergi meninggalkan ku sendiri. Malam itu
air mata tak henti membasahi pipiku, ku pandangi becak di halaman rumah,
akankah ini hari teakhir ku melepaskan becak yang selama bertahun-tahun
menemani Bapak sebagai ladang mencari nafkah.
“Tuhan, dalam hidupku, aku tak ingin mengecewakan mereka, tangis ini suatu saat akan kubalas dengan senyuman kebahagiaan…”
Pagi-pagi
buta Bapak telah pergi mengayuh becak. Dalam hati aku bergumam,,entah
kemana akan Bapak membawa becak itu. Hatiku teriris ketika mengingat
perkataan Bapak semalam. Aku berjalan mendekati ibu di halaman rumah
yang sedang membungkus nasi kuning, ibu tersenyum menatapku seraya
berkata: ”Pergilah nak, doa ibu menyertaimu”. Aku tak kuasa membendung
air mata ini. Aku peluk ibu erat-erat, segera aku merasakan damai dalam
pelukannya.
Seharian aku tunggu kedatangan Bapak sambil membaca
buku persiapan untuk menghadapi tes. Entah apakah aku akan lolos, semua
masih menjadi pertanyaan dalam benakku. Seketika itu perkataan Bapak
terngiang di telingaku“Yakinlah apa yang kau tanam akan kau petik”.
Jingga
merah menyelimuti langit. Adzan magrib berkumandang. Aku lihat dari
jauh bapak berjalan sambil menjinjing plastik hitam. Langkahnya mulai
mendekatiku, ia tersenyum seraya berkata: “Alhamdulillah, rizki mu nak”.
Lalu bapak bergegas masuk ke dalam rumah. Selepas sholat maghrib bapak memanggilku.
“Nisa,
ini uang buat pergi ke Jakarta, dulu waktu bapak di pondok bapak punya
teman orang Jakarta, namanya Pak Rahmat. Ini nak alamatnya, kalo kamu
harus nginep datanglah ke rumahnya, dia sahabat baik bapak, sampaikan
juga salam bapak ya nak. Besok bus ke Jakarta pukul 7 pagi. Sekarang
kamu siap-siap. lalu istirahat, besok mau perjalanan jauh”.
Merangkuh mimpi melewati tes
Dengan
bekal uang 500 ribu, aku pergi ke Jakarta. Meski aku takut pergi
sendirian ke ibu kota, namun tekadku mengalahkan rasa takutku. Ah,
akhirnya aku sampai di ibu kota. Sambil tersenyum geli aku melihat
Monas. Sudah 18 tahun baru kali ini aku pergi ke Jakarta. Nasib baikku
bertemu Ustadz Irfan yang dulu mengajarku di pondok. Dia yang
mengantarkanku pergi ke Kemenag untuk mengikuti tes.
Aku masih
tidak tahu aku peserta nomor berapa. Lebih dari 100 orang berdiri di
ruang tunggu. Nampak wajah-wajah tegang, sebagian mereka ada yang
memegang mushaf, ada yang membaca kitab kuning. Sementara aku terdiam.
Entah model tes seperti apa yang akan dilemparkan kepadaku.. Sungguh aku
benar-benar sendiri dan tak mengerti apa yang harus kulakukan selain
masuk ruangan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan kepada
ku. Tiba-tiba Ustadz Irfan mengasihkan nomor peserta kepada ku seraya
berkata:
”Nisa, nanti jam 15.00 kamu masuk ruangan tes, untuk tes
tulis. Pertanyaannya menggunakan bahasa arab. Nanti di sana kamu harus
mengerjakan soal. Disusul dengan mengarang menggunakan bahasa arab.
Besok tes lisan, mungkin tes muhadatsah. Jangan khawatir, ustadz
yakin kamu pasti bisa. Sekarang kamu ikut ustadz dulu, yuk”. Tanpa
berfikir panjang aku mengikuti langkah beliau. Aku diajak shalat dhuhur
di masjid Istiqlal, kemudian makan siang di sekitar masjid. Hatiku
bergumam “Sesungguhnya engkau sebaik-baiknya penolong, terima kasih ya Allah”.
Setengah
jam sebelum tes di mulai, aku telah menunggu di depan ruangan tes.
Sesekali penjaga pintu tersenyum padaku, entah apakah dia menertawakan
cara berpakaianku yang terkesan kampungan, atau ada hal lain. Aku tidak
peduli dengan itu semua. Yang ada dalam fikiranku saat ini adalah
memberikan yang terbaik buat diri dan keluarga.
Ruangan ini begitu
menegangkan. Setidaknya masa depanku ditentukan di hari ini. Sebelum
aku jawab soal-soal, aku ingat kembali perkataan bapak di malam itu
Hatiku berdetak kencang. Aku harus membayar keringat itu dengan kesungguhan. Di
sini, di bangku ini aku harus memberikan yang terbaik yang aku bisa.
Dalam waktu 30 menit aku selesai menjawab soal-soal itu dan merangkai
kata dengan bahasa arab. Ternyata tesnya tidak sesulit apa yang aku
bayangkan. Meski demikain aku serahkan semuanya pada yang Maha Kuasa.
Aku telah berusaha melakukan yang terbaik semampuku. Ustadz Irfan
menungguku di depan ruang tes, beliau mendekatiku sambil tersenyum.
“Wah
sudah senyum-senyum nih, gimana Nisa, mudahkan? ustadz yakin Insya
allah kamu lulus Nis. Sekarang kamu mau kemana Nis? Besok tes lisan
mulai jam 8 pagi.”
“Bapak menyuruh Nisa menginap di rumah yang ada
di alamat ini.” aku memberikan alama tersebut kepadanya. “Beliau teman
bapak ketika di pondok dulu”.
“Baiklah, ustad antarkan kamu ke alamat ini”.
Setelah
satu jam memutari komplek mencari alamat itu akhirnya ketemu juga. Kami
berdiri di depan rumah tersebut. Ustadz Irfan langsung mengendarai
mobil setelah mengantarkanku ke tempat tujuan. Sejenak aku terkejut
ketika ku ketuk pintu ternyata yang membuka pintu adalah bapak penjaga
di ruang tes tadi. Dia tersenyum dan menyapaku “ cari siapa nak?”.
Tanyanya lembut.
“Saya Nisa Quratul Ain, saya anaknya Pak Burhanudin”. Jawab ku.
“Wah, ini anaknya Burhanudin toh, ia, monggo nak monggo. Dari tadi aku melihat kamu di sana mirip Burhan, ternyata anaknya toh”.
Dalam
hati kecil aku bergumam, maafkan aku pak, aku kira tadi bapak
senyum-senyum melihatku karena penampilanku yang terkesan kampungan.
Semalaman Pak Rahman bercerita tentang bapak dulu. Akupun tidak merasa
sebagai orang asing dirumahnya. Hidup memang bukan untuk dikeluhkan,
melainkan untuk disyukuri. Apa yang akan terjadi besok kita tak akan
pernah tau. Kesederhanaan hidup beliau mengajarkan aku untuk bersyukur.
Ah Tuhan betapa rencanaMu begitu indah.
Hari kedua: Tes lisan
Pukul
7 pagi Ustadz Irfan menjemputku. Setelah berpamitan dengan Pak Rahman
aku pergi meninggalkan rumah beliau. Pagi ini aku menemukan makna baru
dalam memahami kehidupan. Dengan penuh optimis ku yakin mimpiku sebentar
lagi akan ku raih. Ternyata aku masuk di urutan pertama mengikuti tes
lisan. Orang yang mengujiku begitu ramah. Aku jawab semua pertanyaan
yang beliau ajukan kepadaku. Setelah selesai aku bergegas keluar. Tiba
tiba si penguji tadi memanggilku: “Nisa Quratul Ain, insyallah minggu
depan kamu kesini lagi ya”.
Aku hanya tesenyum sambil mengangguk,
entah apa maksud perkataan beliau. Aku tidak tahu apakah aku disuruh
melalui tes lagi. Yang aku tau saat ini, perasaanku sedikit lega karna
telah melewati tes beasiswa ke Maroko. Apapun hasilnya aku harus yakini
itu yang terbaik setelah usaha yang aku lakukan semaksimal mungkin.
Aku
pergi meninggalkan kantor Kamenag. Berjalan sembari merasakan ramainya
kota metropolitan, gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh, derungan
kendaraan bermotor serta polusi-polusi menemani langkahku menyusuri ibu
kota. Tak pernah terbesit dalam hatiku untuk menjadi orang asli ibu
kota.
Berita Yang Mengejutkan
Selepas sholat magrib, handphone ku berdering..
“Assalamu’alaikum Nisa..selamat ya kamu lulus peringkat pertama tes ke
Maroko, besok kamu ke Jakarta ya, urusi segera berkas berikut visa
keberangkatan, kalo bisa secepat mungkin ya Nis, ambil ijazah dan
berkas-berkas yang diperlukan. Besok Ustadz jemput kamu di stasiun
Insayallah”.
Selepas Ust Irfan menelepon, aku kabari bapak dan
ibu. Aku tidak pernah membayangkan senyum kebahagiaan mereka. Ya allah,
Alhamdulillah akhirnya aku bisa membahagiaakan mereka. Akan kuganti becak yang bapak jual dengan peluh kesungguhan. Aku
langsung menyiapkan berkas-berkas yang akan aku bawa besok ke Jakarta.
Uang untuk mengurusinya masih tersisa dari bekal yang bapak beri
kepadaku dulu.
Sesampainya di stasiun Ust Irfan menjemputku dengan
penuh senyum, seraya berkata: “selamat ya Nis, perjuangan mu baru akan
di mulai”.
Aku menyerahkan berkas-berkas ke Direktorat Pendidikan
Timur Tengah. Urusan visa dipegang oleh Ust Irfan. Setelah tiga hari,
akhirnya semua urusan selesai di Jakarta. Tiket semua sudah ditanggung
dari Kamenag, semantara biaya hidupku di maroko akan berasal dari
beasiswa. Alhamdulillah akhirnya ku bisa kuliah tanpa membebani kedua
orang tuaku.
Hari terakhirku
Pagi sekali Ustadz Irfan
menjemputku untuk pergi ke Jakarta. Pesawat ke Maroko akan terbang pada
jam 5 sore. Hari ini aku harus rela berpisah dengan kedua orang tua
serta adik-adikku. Kesedihan menyelimutiku, aku harus meninggalkan
orang-orang yang ku sayangi demi meraih impian. Tangisku pecah dihadapan ibu. Sementara bapak tersenyum-senyum kecil. Aku ciumi tangan mereka seraya berpamitan. Bapak maju mendekatiku kemudian berkata:
“Raih mimpimu, nak ,kami
di sini akan baik-baik saja, doa kami menyertaimu, di Maroko hanya
sekejap mata, jangan kau sia-siakan apa yang kau perjuangkan, bayar
semuanya dengan peluh kesungguhan. Kau pasti bisa, nak”.
Bismilah
aku langkahkan kaki ini meninggalkan orang-orang yang kusayangi. Aku
titipkan mereka padamu ya allah. Ketika senja mulai menampakkan diri aku
ucapakan salam perpisahan pada keluarga dan bumi pertiwi. Dalam
langkahku aku mengemban amanah, yang kelak akan aku pertanggung
jawabkan. Nantikan hadirku hingga aku kembali dengan senyum penuh
kebahagiaan.
Tiba-tiba handpone ku berdering dan tertulis sms “ Nisa Quratul Ain..aku menunggumu disini. Irfan”.
Home » Cerita motivasi » DEWI ANGGRAENI: “RESTU ORANG TUA MEMUDAHKAN JALAN KE MAGHRIBI”
DEWI ANGGRAENI: “RESTU ORANG TUA MEMUDAHKAN JALAN KE MAGHRIBI”
Posted by Tuan Muda
Labels:
Cerita motivasi
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment
TInggalkan Komentar dibawah : Sebisa mungkin akan direspon.